Fariduddin Attar, guru Jalalluddin Rumi, penyair dan sufi
terbesar dari Persia, menuturkan kerinduan sekelompok burung
terhadap raja mereka.
Maka, mereka pun sepakat menunjuk
Hud-hud, burung yang bijak, sebagai pemimpin.
Hud-hud memberi tahu, yang mereka cari itu burung
Simurgh, dalam bahasa Persi, artinya tiga puluh burung, yang
hidup tersembunyi di gunung Kaf, tempat yang jauh, dan
berbahaya. Untuk mencapai tempat itu mereka harus menempuh
lima lembah dan dua gurun sahara.
Mendengar cerita itu, mereka yang berjiwa lemah, yaitu
Nuri, Merak, Angsa, Bangau, Bul-bul, dan burung Hantu,
mengemukakan berbagai alasan untuk tidak ikut.
Si Nuri yang egois, memilih mencari ”kawan
suci”, Merak, si burung surga, lebih baik menanti
panggilan kembali ke surga, Bul-bul, yang merasa memahami
rahasia cinta, menumpahkan cintanya pada bunga mawar, dan
Bangau, pencinta air, membual:
”Cintaku pada air membuatku selalu termenung di tepi
pantai, namun aku toh tak setitik pun meminum airnya, karena
khawatir begitu aku minum, samodra raya itu langsung kering
kerontang.”
Hud-hud memberi rangsangan dengan cerita mengenai
petualangan menarik dalam perjalanan ke Gunung Kaf, di
istana raja mereka.
Karena itu, perjalanan pun dimulai. Tapi baru saja
menempuh dua lembah, mereka mengeluh, dan merasa gentar
membayangkan perjalanan selanjutnya.
Satu-satunya jalan agar mereka mengerti dan sadar,
Hud-hud, harus terus terang bahwa mereka harus menempuh
tujuh lembah dan gurun, yang semuanya memikat, simbolik, dan
bermakna secara rohaniah. Burung-burung itu pun merasa
gembira dan bersemangat lagi.
Kali ini korban berjatuhan. Ada yang mati karena udara
sangat panas, ada yang tenggelam di laut, ada yang
kelelahan, ada yang kehausan tak berdaya. Dan ada pula yang
tersesat.
Sisanya tetap meneruskan perjalanan hingga tiba di Gunung
Kaf yang mereka impikan. Di pintu gerbang mereka
diperlakukan kasar oleh para penjaga. Tapi mereka sudah
terbiasa dengan kesukaran. Maka, pelayan pun menjemput, dan
menunjukkan mereka jalan ke ruang Baginda.
Di dalam, burung-burung itu keheranan karena mereka
memasuki ruang hampa, luas tak terbatas. Dalam termangu
mereka saling memandang. Di mana Baginda raja yang mereka
rindukan? Di sana mereka temukan Simurgh, tiga puluh burung,
yang ternyata diri mereka sendiri.
Dalam kerinduan mencari sang raja, ternyata mereka hanya
menemukan diri mereka sendiri.
”Sang raja tersingkap di dalam cermin kalbu-kalbu
mereka sendiri,” kata Attar.
Fariduddin Attar memesona kita. Dengan fabel itu, ia
sebenarnya bicara perkara yang sangat dalam dan rumit,
mengenai gejolak kalbu, yang diharu-biru rasa rindu. Ini
potret kerinduan khas kaum sufi untuk bisa berkhidmat, dan
memperoleh momen puitik, dan istimewa: berduaan dengan sang
pencipta, untuk mempersembahkan ketulusannya sebagai seorang
hamba sahaya.
”Di pintumu aku mengetuk / aku tak bisa
berpaling” kata Chairil Anwar.
”Di mana kau / rupa tiada, hanya kata merangkai
hati” kata Amir Hamzah.
”Betapa gurun merindukan cinta sejumput rerumputan /
Rumput menggeleng, tertawa, dan berlalu” kata
Tagore.
”Keberadaan lahir / Ketika kita jatuh cinta pada
ketiadaan” kata Rumi.
Ketiadaan di sini bukan kehampaan, bukan
”emptiness”, bukan ”nothingness”.
Ketiadaan ini justru wujud eksistensi. Dalam logika dan
kosmologi Jawa ini makna ungkapan ”suwung ning
isi”, kosong tapi isi yang terkenal itu.
Mencari galih kangkung, dan tapak Kuntul (burung Blekok)
melayang, dalam kosmologi Jawa dianggap simbolisasi
pencarian akan makna paling hakiki dalam hidup manusia:
momen puitik untuk menyatu, manunggal rasa, manunggal karsa
dengan ”Baginda”. Mencari tapak Kuntul melayang
bukan sebuah kemustahilan.
Para empu dalam bidang ”seni kehidupan”, yaitu
para wali, para nabi, dan orang-orang suci, masing-masing
pernah disergap kerinduan yang sangat pekat, dan menemukan
diri menjadi hati Tuhan, tangan Tuhan, dan sarana Tuhan
untuk menciptakan keadilan di bumi. Mereka ibarat hanya
bayangan yang tak ada tapi nyata gunanya.
”Lilin dibuat untuk menjadi nyala / Dalam suatu saat
penghancuran / Yang tak menyisakan bayangan” kata
Rumi.
Kerinduan, bagi yang pernah, dan masih rindu, tak akan
sekadar menjadi mimpi di atas mimpi, yang dikhawatirkan
Ebiet. Kerinduan terobati, bukan hanya saat kita bisa
bertemu, melainkan juga saat kita merasa pasrah untuk
”menjadi”, termasuk sekadar menjadi sebatang lilin
kecil, yang nyala kecilnya, menembus gelap di lorong-lorong
jiwa kita.
Sumber dari : Media isnet
No comments:
Post a Comment